Mengendalikan Hama Wereng Batang Cokelat dengan Jamur
Beberapa waktu lalu ribuan hektare sawah di wilayah Demak dan sekitarnya gagal panen akibat serangan hama. Hingga kini hama merupakan salah satu kendala produksi yang selalu mengganjal target produksi.
Beberapa waktu lalu ribuan hektare sawah di wilayah Demak dan sekitarnya gagal panen akibat serangan hama. Hingga kini hama merupakan salah satu kendala produksi yang selalu mengganjal target produksi. Padahal kebutuhan beras nasional meningkat minimal 0,5 juta ton setiap tahunnya.
Ledakan jenis hama terjadi silih berganti dan tidak jarang diikuti oleh munculnya strain atau biotipe baru yang lebih ganas. Di antaranya hama wereng batang cokelat (WBC) yang merupakan hama penting yang harus diwaspadai karena sewaktu-waktu populasinya bisa meledak bila kondisi lingkungan mendukung. Hama ini merupakan vektor virus kerdil rumput dan kerdil hampa dengan peningkatan populasi secara eksponensial.
Beberapa teknik pengendalian sebetulnya telah dilakukan antara lain memperbaiki varietas tahan hama dan memperbaiki pola tanam (pergiliran tanaman).
Namun karena tingginya kemampuan adaptasi WBC dan belum diterapkannya pola pergiliran varietas oleh petani menyebabkan perkembangannya biotipe WBC sangat cepat. Biotipe WBC terbaru mampu menyerang varietas yang saat ini dianggap paling tahan (IR 64) seperti halnya di Jawa Timur.
Sementara itu penggunaan insektisida selain tidak lagi manjur, juga bersifat beracun bagi lingkungannya. Sebagai contoh buprofezin yang dulu dianggap aman, kini diketahui beracun terhadap nener bandeng, mujair, dan udang windu.
Aman Lingkunggan
Untuk itu Badan Litbang Pertanian saat ini mengembangkan metode pengendalian yang efektif, efisien, sekaligus aman bagi lingkungan. Dua orang peneliti Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (Balitbiogen), Badan Litbang, TP Priyatno dan MK Kardin mengembangkan jamur patogen serangga (JPS) sebagai agen pengendali WBC.
Menurut Priyatno, penerapan JPS baik pada skala pengujian maupun di lapangan masih rendah, padahal sangat potensial sebagai musuh alami WBC.
Bila dibandingkan dengan jenis patogen serangga lainnya, pemanfaatan JPS dinilai lebih menguntungkan. Proses infeksi JPS terjadi melalui penetrasi integumen, saluran pencernaan, dan spirakula, sehingga sangat efektif untuk membasmi WBC.
Selain itu infeksi dapat terjadi pada semua jenis dan fase perkembangan serangga. Sementara proses infeksi oleh patogen lain hanya terjadi melalui saluran pencernaan (mulut).
Menurut Kardin ada 14 jenis jamur yang telah diketahui bersifat patogenik terhadap WBC. Keberadaannya di dalam populasi WBC menentukan tinggi rendahnya populasi WBC.
Pengaruh infeksi JPS bersifat mematikan, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serangga serta menurunkan kemampuan reproduksi. Selain itu menurunkan ketahanan serangga terhadap serangan predator, parasitoid, patogen, insektisida kimia, dan cekaman lingkungan.
Beberapa JPS yaitu Hirsutella citrifromis, B. bassiana, dan M. anisopliae memiliki pertumbuhan yang cepat dan meluas. Bahkan dua jenis terakhir selain menyerang WBC juga infektif terhadap beberapa jenis hama sekaligus. Dengan dosis yang rendah (0,017 g/ml) mampu menimbulkan kematian WBC dalam 16 hari dengan tingkat kematian hingga sebesar 90 persen. Keunggulan lainnya, JPS bersifat kompatibel dengan pengendali hama lainnya.
Kendala Pengembangan
Aktivitas JPS sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Virulensi JPS berhubungan dengan spesifikasi inang atau lokasi, sedangkan viabiltas spora bergantung pada karakteristik sporanya, suhu, kelembaban nisbi, dan radiasi ultra violet. Beberapa faktor ekologis, patologi, dan entomologi sering kali menjadi kendala pengembangan JPS.
Menurut Priyono, kendala utama pengembangan dan aplikasi JPS adalah masih rendahnya kemampuan dan pengetahuan peneliti dalam teknik isolasi idenfitikasi, produksi hingga formulasinya.
Penggunaannya masih sering disamakan dengan insektisida kimia, sehingga kefektifannya tidak sesuai dengan harapan. Padahal aplikasi JPS harus memperhatikan strain, umur biakan, tingkat perkecambahan spora, bentuk formulasi, dan waktu aplikasi yang tepat.
Hal lain yang masih menjadi kendala dan harus diwaspadai adalah aspek keamanannya. Beberapa JPS diketahui menimbulkan reaksi alergenik, iritasi, mikosis, dan menghasilkan racun bagi manusia dan hewan.
Sebagai contoh C. coronatus dapat menyebabkan mikosis pada kuda dan manusia. B. bassiana menimbulkan reaksi alergenik pada manusia dan hewan piaraan, sedangkan aspergillus menghasilkan racun berbahaya.
Untuk itu harus dilakukan seleksi strain mana yang memiliki efektifitas pengendalian hama tinggi. Selain itu juga bisa membunuh berbagai jenis hama sekaligus, kompatibel dengan pengendali hama lainnya, serta aman bagi manusia dan hewan. Menurut Priyono hal itu bisa dilakukan dengan teknik rekayasa genetika.
Sementara itu produksi JPS tidak membutuhkan media yang mahal. Beberapa produk dan limbah pertanian yang murah dapat dikembangkan sebagai media perbanyakan. Misalnya saja kentang, nasi, oatmeal, dan jagung sering digunakan sebagai media perbanyakan JPS.
Sedangkan mengenai formulasi, hendaknya dipilih formula yang mampu mempertahankan stabilitas virulensi dan viabilitas sedikitnya satu tahun. Pengembangan formula diharapkan mampu meningkatkan persistensi pengendalian. Selain itu bisa juga dilakukan penggabungan beberapa patogen dalam satu formulasi, ujar Priyono.
Dalam prakteknya, JPS sebagai insektisida mikroba dapat dilakukan dengan teknik penyemprotan, penghembusan, dan penyebaran. Selain itu penggunaannya dapat dicampur dengan insektisida lainnya sehingga memiliki daya basmi hama sangat tinggi.
Penggunaan JPS sebagai pengendali hama memunculkan harapan baru pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan. Dengan teknik pengembangan yang tepat, selain efektif membasmi hama JPS juga aman bagi lingkungan.
Jika dikaitkan dengan biaya produksi, penggunaan insektisida nabati juga mampu menekan biaya produksi secara nyata. Sehingga bisa memberikan peluang bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik.
sumber situs hijau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar